17 Agustus 2009

Memaknai Kemerdekaan

Pada hari ini, kemeriahan tiba-tiba melanda seantero negeri. Dari kota hingga ke kampung masyarakat disibukkan oleh berbagai ritual seperti perlombaan-perlombaan, pertunjukan seni dan yang lainya yang memang khusus diadakan untuk menyambut hari yang bersejarah ini. Ya benar, hari ini adalah hari ulang tahun Negara ini yang sudah menginjak angka ke-64, sebuah perjalanan yang cukup panjang bagi sebuah bangsa untuk membangun.

Tentu kita layak untuk bergembira dan bersuka cita menyambut hari ini. Dan tentu lebih layak bagi kita, malah mungkin ini suatu kewajiban untuk mensyukuri segala yang telah Allah anugerahkan kepada kita termasuk di dalamnya kemerdekaan “fisik” yang sudah berumur 64 tahun ini.

Tetapi ritual-ritual yang memang sering diadakan untuk menyambutnya, jangan hanya sekedar ritual tanpa makna yang membuat kita tumpul dalam memahami arti penting kemerdekaan ini. Ritual-ritual tersebut jangan sampai memburamkan pandangan kita akan kewajiban-kewajiban yang masih harus dijalankan untuk membangun, berkarya, dan meluruskan kembali makna kemerdekaan ini pada arti yang sesungguhnya.
Kegembiraan dalam ritual-ritual ini jangan sampai membuat kita terlupa bahwa jumlah pengangguran masih tinggi, angka kemiskinan makin banyak dan jika kita menengok di sekeliling kita masih sering terjadi ketidakadilan aparat penguasa dalam memperlakukan rakyatnya sendiri.

Jika kita renungkan dengan lebih baik, mungkin akan lebih bijak jika rasa syukur kita dapat disalurkan melalui kegiatan yang lebih bermanfaat daripada sekedar ritual-ritual yang tidak jarang mengarah pada tindakan yang berlebihan dan hura-hura. Tetapi bukan berarti kita tidak diperkenankan untuk sedikit bergembira melalui ritual-ritual yang biasa kita lakukan tersebut, tetapi hendaknya tidak berlebihan.

Sering kita melihat di suatu wilayah diadakan suatu pertunjukkan yang kurang tepat malah sama sekali tidak tepat untuk merayakan apa yang disebut kemerdekaan. Dengan dana yang tidak sedikit orang-orang merayakan hari bersejarah ini dengan dangdutan misalnya atau pertunjukan lainnya yang di dalamnya ada aurat yang diumbar, goyangan seronok, dan hal-hal negatif lainnya yang selain tidak sesuai dengan moral juga sangat bertentangan dengan spirit kemerdekaan. Jika dana tersebut dipakai untuk mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah yang bersangkutan, dengan memberikan pinjaman modal bagi mereka yang punya keahlian tanpa modal atau sekedar member santunan terhadap anak-anak yatim dan orang-orang yang kurang beruntung.

Tentu saja tidak mudah untuk menumbuhkan spirit kemerdekaan yang semacam itu ditengah-tengah gempuran budaya hidup yang mementingkan diri sendiri dan hedonisme yang sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat akibat dari penerapan sistem yang kapitalistik. Masyarakat sudah terlalu lama dicuci otak dengan berbagai kesenangan semu yang ditawarkan oleh sistem tersebut.

Sangat ironis memang menyaksikan perayaan kemerdekaan dengan berbagai ritual yang merupakan sesuatu yang mengindikasikan keterbelengguan (baca: tidak merdeka). Secara lahiriah merayakan kemerdekaan padahal secara maknawiah kebudayaannya terjajah. Dan yang paling mengkhawatirkan dari semua itu adalah pemikirannya terjajah Bisa kita bayangkan sesuatu yang merupakan elemen paling penting dalam hidup bukan menjadi miliknya lagi. Mengerikan bukan?

Perlu semacam revolusi pemikiran untuk mewujudkannya, dengan mengubah cara memandang hidup dan kehidupannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar